SEJARAH KOTA MANDIRI MAJA DI PROVINSI BANTEN

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Jika Anda jeli mengamati catatan ke belakang dulu, kecamatan Maja pernah akan dikembangkan sebagai sebuah kota kekerabatan. 

Tepat sebelum krisis moneter menghantam negara kita di tahun 1998, pada tahun 1997 warga Maja pernah mendengar kabar rencana pengembangan wilayah mereka menjadi sebuah area hunian yang setara dengan kota baru yang mandiri.

Dikutip dari artikel “Matinya Kota Kekerabatan Maja” yang ditulis oleh Anita Yossihara di kompas.com tahun 2008 lalu, Maja pernah digadang-gadang sebagai wilayah perumahan anyar yang sangat menjanjikan.

Sejumlah warga Jakarta pernah diajak untuk menyaksikan sendiri wilayah baru yang masih terpencil dari keramaian tersebut dengan menggunakan sarana transportasi kereta api yang saat itu masih sangat memprihatinkan dan jauh dari kata “layak”.

Menurut Anita, Maja hingga tahun 2008 tidak mengalami perkembangan signifikan. Masih sepi meskipun 11 tahun sebelum itu sudah dipromosikan sebagai area hunian potensial selain Jakarta yang saat itu menjadi primadona.

Salah satu dari ratusan warga Jakarta yang ke Maja itu adalah ibu Amran yang sempat berkunjung ke Maja sekitar tahun 1997 dengan menaiki kereta api khusus ke Stasiun Maja sana.

Kereta ini secara sengaja disewakan bagi warga ibukota yang berniat menyaksikan langsung seperti apa kondisi Maja saat itu. Dengan demikian, mereka bisa lebih yakin untuk pindah tempat tinggal ke tempat yang saat itu masih masuk ke wilayah provinsi Jawa Barat tersebut.

Gagasan Rezim Orba

Rencana pengembangan Maja sebagai sebuah kota kekerabatan itu digagas oleh Kementerian Perumahan Rakyat saat Presiden Soeharto masih bercokol.

Pemerintah menjatuhkan pilihan pada Maja karena lokasinya yang relatif dekat (70 km) dengan Jakarta sebagai sentra ekonomi dan pemerintahan Indonesia. Dengan menaiki komuterline sekarang, jarak Jakarta dan Maja bahkan cuma 1,5 jam.

Pemerintah saat itu bekerjasama dengan 16 developer properti swasta di tanah air untuk mewujudkan rencana besar tadi.

Kenapa ada begitu banyak pengembang digandeng? Sebab skala proyek Maja ini sangat masif.

Luas lahan di Maja yang menurut rencana pengembang akan digarap menjadi Kota Kekerabatan Maja mencapai 5.796 hektar (hampir 60 km persegi). Luas ini melampaui Jakarta Pusat yang cuma 47,90 km persegi.

Tercatat sampai tahun 2003, luas lahan yang sudah dibebaskan oleh pengembang baru 3.565,49 hektar saja.

Tujuan Pengembangan

Pemerintah Orde Baru saat itu rupanya sudah sangat sadar bahwa laju perkembangan penduduk Jakarta sudah jauh melampaui batas sehingga mereka memikirkan solusi masa depan yang efektif untuk masalah lonjakan jumlah penduduk tersebut.

Maja menjadi solusi tepat bagi Jakarta yang sudah penuh sesak (bahkan untuk ukuran tahun 1990-2000an).

Sebagaimana banyak proyek Orba lainnya saat itu, rencana pengembangan Kota Kekerabatan juga memicu dampak sosial pada warga lokal Maja.

Masih dikutip dari tulisan yang sama, lahan milik warga yang dibeli atas nama pembebasan lahan pun dilakukan di bawah harga standar pasar saat itu.

Harga tanah per meter persegi saat itu Rp2000 tapi menurut pengakuan salah satu warga, kebun pamannya dibeli cuma dengan harga Rp1500 per meter persegi. Hal ini tentu merugikan rakyat kecil saat itu. 

3 Wilayah Pengembangan

Terlepas dari masalah sosial ekonomi yang dipicu oleh pengembangan Kota Kekerabatan Maja ini, sudah disusun sebuah rencana pengembangan yang membagi lahan menjadi 3 wilayah utama: Kecamatan Maja (Lebak), Tenjo di Kab. Bogor, lalu terakhir Tigaraksa-Cisoka di Tangerang. 

Sekarang di tahun 2024, lahan di kecamatan Maja sudah dikembangkan oleh Ciputra Group dan rekanan-rekanan mereka. Proyek mereka dinamai Citra Maja Raya.

Sementara itu, lahan di Tenjo, Bogor yang hanya 5-10 menit sebelum Stasiun Maja, dikembangkan sekarang ini oleh pengembang besar Agung Podomoro.

Di saat bersamaan, lahan di Tigaraksa dan Cisoka Tangerang pada tahun 2020-an hingga detik ini digarap bersama-sama oleh sejumlah pengembang misal Vista Land Group, Grand Almas Residence, Puri Delta, dan sebagainya.

Sempat Mati Suri

Antara tahun 1997 hingga 2000-an, memang Maja yang sudah dibagi dua kecamatan menjadi Maja dan Curug Bitung itu seolah terlupakan. Akibatnya, Maja masih sepi peminat.

Mati surinya Maja makin menjadi-jadi tatkala badai krisis moneter menerpa tahun 1997-1998. Para pengembang limbung dan menangguhkan berbagai proyek mereka.

Di dekat area Citra Maja Raya sendiri saat ini ada perumahan yang terlantar yang bisa dikatakan gagal dalam proses pengembangan pada masa 1990-an menjadi sebuah kota.

Salah satu yang disebut sebagai perumahan gagal itu ialah Perumahan Armedian di Pasir Kembang, dekat Kota Rangkasbitung. Di tahun 2008, perumahan ini dilaporkan cuma dihuni 60 unitnya, selain itu bangunan rumahnya ada yang mulai rusak karena mangkrak. Bukannya makin teratur, malah bermunculan rumah yang dibangun tanpa perencanaan beserta empang-empang warga.

Nasib serupa menimpa perumahan-perumahan lainnya yang juga dikembangkan dalam rangka Kota Kekerabatan baru tersebut. Beberapa di antaranya ialah Perumahan Permata di dekat Stasiun Maja, Perumahan Vila Regensi Maja di Desa Tanjung Sari, dan lain-lain.

Namun, untungnya di tahun 2024 ini lahan Perumahan Permata sudah dikembangkan lagi menjadi Permata Mutiara Maja (PMM) yang berdampingan dengan Citra Maja Raya. Geliatnya mulai terasa kembali meski tidak instan.

Biasanya perumahan-perumahan yang terlantar akibat krisis moneter 98 itu dibiarkan kosong dan dimanfaatkan warga sekitar untuk bercocok tanam untuk sekadar menghasilkan sayur mayur dan bahan pangan.

Tercatat pada 2003, sudah ada 6 perumahan baru yang didirikan pengembang di kawasan Maja dan sekitarnya dalam rangka realisasi Kota Kekerabatan Maja yang dicanangkan pemerintah Orde Baru yang sudah tumbang saat itu. 

Sepuluh pengembang lain masih belum bisa membangun karena alasan dana mengingat Indonesia baru masa pemulihan akibat krisis moneter 1998. 

Dari catatan, lahan yang sudah dikembangkan saat itu baru mencapai 2,2 hektar dari total lahan yang sudah dibebaskan dan sah dimiliki pengembang. Hal ini menunjukkan betapa beratnya memulai proyek Kota Kekerabatan ini. Menarik orang untuk mau pindah ke Maja sungguh berat.

Sayangnya, hal ini diperburuk dengan akses transportasi ke perumahan-perumahan tadi yang masih buruk sehingga warga Jakarta masih enggan pindah ke dalamnya. Rumah-rumah tadi jauh dari Stasiun Maja yang menjadi portal untuk warga Maja ke Jakarta dan daerah lainnya demi mengais rezeki.

Satu perumahan yang cukup ‘sukses’ karena sudah dihuni 200 rumahnya adalah Perumahan Bambu Kuning di dekat Citra Maja Raya. Tapi untuk bisa dikatakan menjadi kota, tentu masih sangat jauh dari standar sebab mereka masih beraktivitas (bekerja) di Jakarta. Di tahun 2024, perumahan ini juga masih eksis di Maja.

3 Langkah Revitalisasi

Di tahun 2008, pemerintah berencana menggiatkan aktivitas pembangunan di Maja kembali dengan beberapa langkah. 

Pertama, mereka membangun jalan sebagai akses menuju dari dan ke Maja. Yang sudah terealisasi adalah jalan raya Maja-Koleang yang masih terbentang menjadi akses utama ke Citra Maja Raya saat ini. Lebar jalan raya ini masih tidak seperti harapan mengingat banyaknya truk-truk berukuran raksasa yang melintas.

Kedua, pemerintah memperbaiki ketersediaan air bersih yang penting bagi kehidupan warga. 

Di tahun 2009, dinyatakan bahwa Pemkab Lebak sudah menyuntik modal Rp1,5 miliar untuk penyediaan air bersih di Maja. Hanya saja, itu ternyata tidak memecahkan masalah.

Buktinya hingga saat ini Maja masih dikenal sebagai area yang akses air bersihnya cukup bermasalah. 

Tercatat hingga 2024 PDAM Multatuli yang beroperasi di area setempat masih bermasalah dalam pengelolaan sehingga layanan kadang masih terhenti selama beberapa hari. Atau adanya kesalahan tagihan dan kebocoran serta debit air yang kurang atau kualitas air yang jauh dari standar (misalnya keruh). Ini tentu sangat meresahkan warga yang berniat menetap karena air bersih adalah kebutuhan pokok.

Ketiga, pemerintah menganggarkan pembangunan jalur kereta rel ganda yang terbukti membuat akses ke Maja makin nyaman dan mudah. Hingga detik ini, kereta adalah akses transportasi yang sangat diandalkan warga Maja yang ingin ke wilayah Tangerang Selatan, BSD, Serpong, maupun Jakarta dan Bekasi.

Maja Tahun 2024

Di masa 1990-an, Maja direncanakan sebagai pusat aktivitas ekonomi baru dan hal ini dipertegas lagi di tahun 2000-an dengan menetapkan Maja sebagai pusat aktivitas urban dengan fokus perniagaan, jasa, permukiman dan jenis industri yang ramah lingkungan.

Ambisi ini tampaknya masih akan harus dicapai dalam waktu lebih lama karena sebagaimana kita tahu, membuat orang mau pindah ke kota baru ini tidak semudah membalik telapak tangan.

Iming-iming rumah tapak nan murah tidak serta merta membuat orang membeli. Kita tahu posisi menentukan harga sebuah properti. Dan jika Maja tetap dianggap jauh dari pusat ekonomi serta pemerintah dan masyarakat gagal menghidupkan ekonomi di wilayah ini, sangat disayangkan jika Maja kembali terbengkalai seperti tahun 2000-an.

Namun, dengan perpindahan status ibu kota ke IKN yang baru dan sejumlah rencana penyebaran aktivitas ekonomi di luar Jabodetabek, Maja seperti mendapatkan angin segar.

Hal ini juga ditambah dengan munculnya tren “Work from Home” dan “Work from Anywhere” selama pandemi yang memungkinkan warga yang sudah memilih menetap di Maja untuk mendapatkan pemasukan layaknya pekerja di Jakarta dan sekitarnya tanpa harus bolak-balik ke kantor di tengah kota metropolitan padat penduduk dan berpolusi tinggi tersebut.

Untungnya Maja sudah dilengkapi dengan fasilitas WiFi yang sangat vital bagi kaum pekerja jarak jauh (remote workers) dan pekerja teknologi lepas (freelancers) di mana-mana berkat kerjasama dengan pihak Ciptakom (anak perusahaan Ciputra Group) dan Indihome milik Telkom.

Pembangunan fasilitas umum seperti bioskop CGV dan Eco Plaza di Citra Maja Raya juga menandakan sudah ada geliat investor di sana.

Terancam Sepi Lagi?

Sayangnya, Maja terancam kembali sepi dengan makin banyaknya perusahaan dan instansi yang memberlakukan kebijakan “Work from Office” (WFO) setelah PPKM Darurat secara resmi dicabut. Dengan demikian, status pandemi sudah diangkat dan mobilitas kaum pekerja ke kantor mereka sudah lebih bebas.

Jadi tidak berlebihan sepertinya bila dikatakan wilayah Maja ini cocok untuk kaum pekerja digital dan remote yang enggan berjibaku dengan kesemerawutan Jakarta tapi masih ingin bisa bekerja secara jarak jauh di rumahnya di Maja.

Sangat sulit untuk menarik kaum pekerja Jakarta yang masih bolak-balik kantor di Jakarta, kecuali mereka mau untuk bangun sebelum subuh tiap hari untuk mengejar kereta.

Beberapa pekerja Jakarta mungkin sudah ada yang membeli rumah di Citra Maja Raya tapi biasanya dikunjungi cuma di akhir pekan sebagai vila atau bentuk investasi saja. Atau biasanya disewakan sementara hingga mereka memutuskan akan benar-benar menetap.

Yang sudah tak punya duit untuk cicilan KPR karena kena PHK massal yang melanda negara ini sejak 2021-2022, biasanya akan memberikan kesempatan oper kredit ke orang lain. (*/)

sekitarmaja.com

Ingin bisnis atau aktivitas Anda di Maja diliput oleh SekitarMaja.com? Kirimkan tip berita Anda ke sekitarmaja@gmail.com.

Artikel Berkaitan

DANAU ECOCLUB, SAKSI BISU DEMAM PENAMBANGAN LIAR BATU KALIMAYA DI TAHUN 1990-AN

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Batu kalimaya, atau dikenal sebagai batu opal, adalah batu alam yang banyak ditemukan di kawasan sungai di daerah Rangkasbitung, Banten. Nama kalimaya berasal dari kata “Kali Maja” atau sungai Maja. Di dunia internasional, batu ini dikenal dengan nama opal yang nilainya sebanding dengan batu permata lain seperti zamrud, kecubung, dan safir. Setara 2000 Ekor Kuda Menurut laman diedit.com, batu kalimaya telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Catatan kuno menyebutkan sekitar tahun 30 SM, Marcus Antonius pernah memberikan cincin kalimaya kepada Ratu Cleopatra dengan nilai sebanding dua ribu ekor kuda terbaik. Ada tiga versi yang menjelaskan asal nama opal, yaitu dari kata “Opalus” (Romawi), “Opillos” (Yunani), dan “Upala” (Sansekerta).…

MAY DAY: KESEJAHTERAAN BURUH DAN WARGA LEBAK DULU DAN KINI

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Nama kabupaten Lebak di Provinsi Banten mungkin tidak seterkenal Jakarta yang dulu dikenal sebagai Batavia. Namun, jika kita runut jauh ke belakang hingga abad ke-19, nama Lebak sempat diperbincangkan masyarakat Belanda di Eropa berkat diterbitkannya sebuah novel. Dengan mengambil latar di Lebak, novel berjudul “Max Havelaar” karya Eduard Douwes Dekker (1820-1887) mengangkat kekejaman dan eksploitasi sistem kolonial Belanda terhadap rakyat Lebak pada abad ke-19, khususnya melalui sistem tanam paksa yang mempekerjakan mereka dalam kondisi buruk dan merampas hasil jerih payah mereka. Dengan nama samaran Multatuli telah berusia lebih dari 160 tahun, Dekker mengangkat isu sosial ini untuk masyarakat Eropa. Novelnya mendapatkan sambutan yang luar biasa dan memicu…

One thought on “SEJARAH KOTA MANDIRI MAJA DI PROVINSI BANTEN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Yang Tak Kalah Menarik

BESOK TRADISI SEBA BADUY DIGELAR DI ALUN-ALUN RANGKASBITUNG

BACA INI SEBELUM CABUT GIGI GERAHAM BUNGSU ANDA!

CEGAH BANJIR DI MAJA, BENDUNGAN CICINTA AKAN DIREVITALISASI

TRUK TANAH, KERUSAKAN ALAM BANTEN, DAN REKLAMASI JAKARTA

BENDUNGAN KARIAN LEBAK: TAK CUMA CEGAH BANJIR

‘CHEMISTRY’ NICHOLAS SAPUTRA DAN PUTRI MARINO HIDUPKAN FILM ROMANSA ‘THE ARCHITECTURE OF LOVE’