
MAJA, SEKITARMAJA.COM – Berniat untuk membeli properti baik rumah atau apartemen atau ruko dengan tujuan investasi jangka panjang? Sebaiknya Anda baca tulisan ini dahulu.
Bila Anda sering diceramahi generasi terdahulu yang mengagung-agungkan properti sebagai instrumen investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan, asumsi tersebut tampaknya perlu ditinjau ulang.
Di tahun 2025, citra properti sebagai alat investasi yang profitable mulai luntur. Sejumlah orang yang berniat menjual rumah mereka mengatakan properti mereka terjual di level harga yang jauh di bawah ekspektasi mereka. Bahkan harga itu bisa setengah dari harga yang dipatok pemilik awal.
Terdapat beberapa faktor penyebab turunnya pamor properti sebagai alat investasi. Berikut adalah beberapa di antaranya yang dirangkum oleh sekitarmaja.com dari Islamic Financial Planner Harryka Joddy P via akun Instagramnya @harrykajoddy.cfp.
Faktor pertama ialah terdesak kebutuhan ekonomi. Properti memang punya kemungkinan naik harganya di masa depan tetapi likuiditasnya sangat rendah. Dengan kata lain, tidak bisa diubah jadi uang tunai kapanpun kita kehendaki dengan mudah. Padahal, kebutuhan orang bisa sangat mendesak. Sebagian pemilik properti bisa banting harga karena terdesak keharusan membayar dana pendidikan anak atau biaya pengobatan yang darurat sekali. Mau untung malah ternyata rugi banyak.
Faktor kedua ialah membeli properti tapi tidak dihuni atau dipakai untuk aktivitas produktif. Dengan kata lain, properti itu adalah rumah kedua yang kemudian menganggur atau kosong melompong. Ingatlah bahwa properti harus dipelihara dan diperbaiki jika ada kerusakan. Pemilik harus bayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) yang biasanya dikenakan oleh pengembang. Begitu juga PDAM dan listrik, yang terus harus dibayar meski properti itu tidak dihuni dalam jangka lama oleh pemiliknya atau penyewa.
Faktor ketiga yakni penurunan daya beli masyarakat global yang signifikan. Dengan adanya ketidakpastian geopolitik dan ekonomi akibat perang dagang China VS AS dan juga ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan strategi pertumbuhan ekonomi yang jitu dan berkelanjutan, daya beli orang Indonesia termasuk membeli properti yang cenderung mahal menjadi tergerus. Kebijakan Free PPN yang diberlakukan sampai Juni 2025 belum terlihat dampak positifnya terhadap dunia properti yang merana saat ini. Ditambah dengan gelombang PHK dan ketersediaan lapangan kerja yang tak bertambah signifikan bagi penduduk usia produktif, akhirnya membuat kita harus memaklumi penurunan daya beli ini.
Faktor keempat yaitu dunia properti Indonesia telah mencapai tahap bubble. Kini gelembung atau bubble yang dimaksud telah ‘pecah’. Dengan kata lain, harga properti anjlok karena masyarakat banyak tak bisa membelinya akibat harga yang terus dinaikkan pengembang dan pasar. Bahkan saat ini pemerintah pun berjuang keras untuk menjual rumah subsidi yang harganya di bawah 500 juta. Otomatis properti di atas 1 miliar sudah tak terjangkau kebanyakan orang. Mendapatkan pembeli yang cocok harganya di masa sekarang mirip keajaiban. (*/)