
MAJA, SEKITARMAJA.COM – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, akan mengumumkan kriteria baru masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) penerima rumah subsidi pada 21-22 April 2025. Demikian dilansir dari laman kompas.com hari ini (15/4).
Perubahan ini membuka akses lebih luas bagi masyarakat untuk memiliki hunian. Tetapi risikonya juga tak kalah banyak. Berikut penjelasannya untuk Anda.
Apa Perubahan Utamanya?
Batas penghasilan naik signifikan untuk wilayah Jabodetabek yakni Rp 12 juta untuk lajang (sebelumnya Rp 7 juta) dan Rp 14 juta untuk yang sudah menikah (sebelumnya Rp 8 juta).
“Khusus buat MBR nanti minggu depan, sekitar tanggal 21-22 April saya akan umumkan bersama BPS, ukuran siapa yang bisa dapat rumah subsidi,” ungkap Maruarar saat menghadiri halal bihalal Apindo di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Siapa Yang Diuntungkan?
Perluasan kriteria ini memberi kesempatan lebih besar bagi berbagai profesi termasuk wartawan, buruh, dan pekerja dengan penghasilan menengah untuk memiliki hunian.
Maruarar juga telah berdiskusi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menyiapkan program khusus rumah subsidi bagi wartawan.
Keuntungan KPR FLPP Untuk MBR
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan berbagai keuntungan skema KPR FLPP, yakni tenor kredit hingga 20 tahun, bunga tetap 5%, uang muka atau DP hanya 1% untuk wilayah Jabodetabek, termasuk asuransi jiwa, kebakaran, dan kredit, serta utang dianggap lunas jika pemilik meninggal dunia.
“Kalau batas MBR cuma Rp 8 juta, mereka nggak sanggup mencicil rumah susun. Kalau Rp 14 juta, akan lebih banyak masyarakat, termasuk buruh, yang bisa masuk,” jelas Heru.
Sementara itu, spesifikasi rumah subsidi ialah rumah dengan luas bangunan 21-36 meter persegi dan luas tanah 60-200 meter persegi.
Kebijakan ini menjadi solusi nyata untuk mengatasi backlog perumahan di perkotaan dengan memperluas akses kepemilikan rumah bagi lebih banyak masyarakat Indonesia.
5 Risiko Kenaikan Batas Maksimal Penghasilan untuk Rumah Bersubsidi
Kenaikan batas maksimal penghasilan untuk penerima rumah bersubsidi dari Rp 7-8 juta menjadi Rp 12-14 juta di Jabodetabek memang membuka akses lebih luas, namun juga menimbulkan beberapa risiko potensial:
1. Salah Sasaran (Mistarget) Subsidi
Menurut penelitian dari Center for Housing Studies (CHS) Universitas Indonesia (2023), kenaikan batas penghasilan penerima subsidi dapat mengalihkan manfaat dari kelompok yang benar-benar membutuhkan ke kelompok menengah yang sebenarnya masih mampu mengakses pasar properti komersial dengan sedikit dukungan.
Contoh kasus yang bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia ialah Program KPR bersubsidi di Thailand tahun 2018 yang menaikkan batas penghasilan penerima mengakibatkan 38% subsidi justru dinikmati oleh kelompok menengah, sementara kelompok berpenghasilan sangat rendah kesulitan mengakses program tersebut karena persaingan yang meningkat.
2. Potensi Spekulasi dan Penyalahgunaan
Direktur Pusat Studi Properti Indonesia, Ali Tranghanda, dalam analisisnya tahun 2024 menyatakan bahwa kenaikan batas penghasilan berpotensi meningkatkan praktik spekulasi di mana penerima subsidi dengan penghasilan lebih tinggi membeli properti bukan untuk dihuni, melainkan sebagai investasi.
“Ketika batas dinaikkan secara signifikan, risiko properti bersubsidi jatuh ke tangan investor dan bukan end-user semakin besar,” kata Ali dalam Forum Properti Nasional Maret 2024.
3. Tekanan pada Anggaran Negara
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, memperingatkan bahwa perluasan kriteria penerima dapat meningkatkan beban fiskal negara secara signifikan.
“Pengalaman dari program serupa di Malaysia menunjukkan bahwa perluasan kriteria penerima tanpa diimbangi peningkatan alokasi anggaran justru menurunkan kualitas perumahan yang dibangun,” ujar Bhima dalam sebuah webinar tentang Kebijakan Perumahan pada Februari 2025.
4. Inflasi Harga Properti
Sebuah studi dari Bank Dunia (2022) tentang “Housing Affordability in Developing Urban Areas” menunjukkan bahwa peningkatan subsidi perumahan tanpa peningkatan pasokan yang sepadan dapat mendorong inflasi harga properti.
Contoh kasus yang mungkin relevan ialah program perumahan “Mi Casa Ya” di Kolombia, Amerika Selatan, yang memperluas kelompok penerima manfaat pada 2016 mengakibatkan kenaikan harga properti sebesar 12-15% di area target dalam waktu 18 bulan, justru menurunkan keterjangkauan bagi kelompok berpenghasilan sangat rendah.
5. Ketidaksiapan Infrastruktur Pendukung
Menurut laporan Kementerian PUPR (2024), pembangunan massal perumahan bersubsidi tanpa persiapan infrastruktur pendukung yang memadai dapat menciptakan permukiman baru dengan aksesibilitas rendah.
“Kami melihat banyak kasus perumahan subsidi yang dibangun tanpa mempertimbangkan ketersediaan transportasi umum, fasilitas pendidikan, dan kesehatan,” ungkap Nirwono Joga, pakar tata kota dari Urban Regional Development Institute dalam sebuah seminar di Jakarta, Januari 2025.
Meski membuka akses lebih luas, penyesuaian kebijakan ini perlu diimbangi dengan pengawasan ketat terhadap implementasi program dan evaluasi berkala untuk memastikan subsidi tetap tepat sasaran dan berkelanjutan secara fiskal. (*/)