MAJA, SEKITARMAJA.COM – Banten memang bukan kota besar dunia seperti Paris, New York, atau London. Tetapi ada satu peristiwa penting dalam catatan sejarah dunia yang menyita perhatian masyarakat dunia yang pernah terjadi di Banten. Peristiwa historis itu adalah adalah letusan besar Gunung Krakatau yang begitu legendaris di 27 Agustus tahun 1883.
Untuk membayangkan skala kehebatan bencana alam satu ini, kita bisa lihat catatan korban tewasnya yang di wilayah Banten saja. Tercatat korban tsunaminya di Banten mencapai 21,5 ribu jiwa. Angka ini belum termasuk korban di daerah Lampung, Bengkulu, Batavia, dan sebagainya. Angka ini tentu cuma taksiran karena pastinya banyak rakyat kecil yang tak terdata dengan baik di masa zaman kolonial dahulu.
Sangat sulit membayangkan bahwa sekitar 100 km dari rumah yang kita tinggali sekarang ini (jika Anda tinggal di Maja, Lebak), Gunung Krakatau yang sama juga masih berdiri dengan gagahnya di Selat Sunda.
Jumlah korban tewas akibat erupsi dan tsunami dipastikan mencapai 36,417, tetapi beberapa peneliti memperkirakan korban tewas jauh lebih tinggi, yaitu 120,000 korban tewas demikian ungkap wikipedia.com.
Hujan Abu
Bagaimana suasana hari di saat letusan akbar ini terjadi? Kita bisa menilik dari catatan harian Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, seorang pribumi yang pernah menjabat posisi Bupati Serang di tahun 1901 dan menjadi orang pribumi Banten yang pertama mengenyam pendidikan Barat.
Dalam bukunya yang berjudul Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1996), kakek kandung salah satu pendiri Grup Femina Pia Alisjahbana ini menuliskan bahwa di pagi hari 27 Agustus 1883 di Kota Serang saat letusan meletus, terjadi hujan abu yang sangat halus.
Orang-orang di sekitar Aria termasuk dia sendiri tak menyadari letusan yang mereka dengar adalah letusan gunung. Aria menulis: “Tiba-tiba terdengar suara dentuman dua kali. Menurut juru tulis: “Tentu kapal perang sedang latihan tembak menembak di dekat Tanjung Priok.””
Namun, mereka lama-lama sadar bahwa cuaca pagi itu aneh sebab makin lama langit makin gelap bak senja yang berangsur malam hari. Sado yang hendak ditumpangi Raden Bagoes Djajawinata (Patih dari Menes), ayah Aria yang akan menghadiri rapat resmi pemerintah daerah tertutup abu halus meski sudah dilap berkali-kali oleh sang kusir. Saking gelapnya suasana hari itu, mereka harus menyalakan lentera di sado dan di dalam rumah.
Disangka Kiamat
Di pagi yang sama, berbondong-bondong banyak orang baik pejabat maupun rakyat kecil di Serang ke pendopo rumah Aria yang memang salah satu pejabat teras kala itu.
Raden Bagoes Djajawinata mengabarkan dari rapat penting tersebut bahwa banyak daerah pesisir laut Banten yang rata dengan tanah, luluh lantak akibat letusan Krakatau dan ombak besar ( saat itu belum digunakan istilah “tsunami”)
Raden Bagoes sendiri larut dalam emosi karena ada keluarga dekatnya yang tinggal di pesisir di daerah Tajur. Kakaknya ini bekerja sebagai asisten wedana. Karena yakin kakaknya sudah tewas beserta seluruh keluarganya disapu tsunami, beberapa hari kemudian ayahnya dan Aria ke rumah kakek Aria di Pandeglang untuk mendoakan mereka.
Namun ternyata sang kakak (paman Aria) dan keluarganya datang dengan membawa istrinya dan seekor kuda kecil. Istrinya sendiri sedang menggendong bayi kecil. Ternyata mereka masih selamat setelah bisa menyelamatkan diri dengan mendaki sebuah bukit yang tak bisa disapu gelombang besar pasca letusan Gunung Krakatau. Mereka datang tepat di acara doa yang ditujukan untuk mendoakan arwah mereka tetapi ternyata malah menjadi acara syukuran karena mereka masih selamat.
Paman Aria ini yang asisten wedana Tajur ini menceritakan letusan yang dahsyat. ia melihat gunung itu menyemburkan api besar. Dan langit menjadi gelap, begitu gelap sampai ia menyangka dunia sudah kiamat.
Asisten wedana Tajur ini ingin melarikan diri begitu melihat letusan namun karena ia penyayang hewan dan begitu banyak hewan di rumahnya, ia tak lupa sebelum menyelamatkan diri dan keluarganya, ia lepaskan semua burung dan kuda yang ia miliki agar mereka bisa selamat. Hanya satu ekor kuda kecil yang ia masih pertahankan yang kemudian ia pakai untuk mengungsi ke rumah ayahnya di Pandeglang.
Setelah itu, mereka tak tahu harus ke mana. Kuda kecil yang masih mereka miliki itu justru menjadi pembimbing mereka menuju ke puncak bukit sehingga mereka masih bisa selamat hari itu.
Sebagai pejabat, asisten wedana Tajur itu segera kembali bertugas sebab daerahnya amat menderita akibat terjangan ombak besar dan letusan Krakatau.
Dikunjungi Gubernur Jenderal
Mendengar hancurnya Banten, Gubernur Jenderal kala itu Frederik s’Jacob melakukan kunjungan lapangan dan berkesempatan mendatangi Serang.
Tahu kabar kedatangan Gubernur Jenderal, Raden Bagoes Djajawinata segera memerintahkan perbaikan jalan agar pejabat penting Belanda itu bisa lewat dengan nyaman.
Lucunya, saat tiba di pendopo Serang sehabis kunjungan, Frederik s’Jacob dan bupati yang mendampingi tampak basah kuyup. Rupanya mereka habis tercebur di sungai yang sedang meluap di antara Serang dan Anyer. Perahu mereka terbalik karena kesalahan juru mudinya. (*/)