Mengenang Rumit dan Susahnya Warga Banten Naik Haji di Masa Kolonial Belanda

Potret seorang pemuda pribumi dari Serang, Banten. Diambil sekitar tahun 1870. (Foto: KITLV, Leiden Univ)

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Naik haji saat ini relatif lebih mudah. Syarat agar seseorang bisa mendaftar haji sendiri adalah ia harus beragama Islam, minimal 12 tahun, belum haji dalam 10 tahun terakhir, memiliki KTP dan dokumen lain yang valid, tabungan haji di bank yang ditunjuk, dan pas foto sesuai ketentuan.

Selain itu, sudah tersedia lebih banyak program haji yang bisa dipilih sesuai kemampuan finansial. Dilansir dari medcom.id, Haji Reguler yang diselenggarakan Kemenag RI memang waktu tunggunya sangat lama (bisa puluhan tahun) tetapi biayanya ‘cuma’ Rp 93 jutaan/ orang dengan pembiayaan dari jemaah sendiri cuma Rp56 jutaan.

Lalu ada Haji Plus yang diadakan biro perjalanan haji swasta dan waktu tunggunya 5-9 tahun saja.Biayanya jauh lebih mahal yakni Rp169 jutaan (sekitar USD11 ribu) untuk tahun 2024 ini. Kelebihannya ada layanan ziarah dan manasik haji yang intensif.

Kemudian yang terakhir ada program Haji Furoda yang diadakan biro perjalanan haji swasta dengan kuota istimewa dari pemerintah Arab Saudi sendiri. Biayanya Rp252 jutaan atau sekitar USD15,5 ribu untuk tahun 2024. Fasilitasnya adalah jenis akomodasi dan moda transportasi yang terbaik di tanah suci.

Foto Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang yang berbicara dengan sejumlah pemimpin desa di Serang sekitar tahun 1900. (Foto: Koleksi Digital Universitas Leiden)

Syarat Haji Sangat Memberatkan

Namun, kurang lebih seabad yang lalu di Banten, naik haji bagi warga Banten tidaklah semudah dan semurah sekarang. Di akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda saat itu sangat ketat dalam memberikan izin bagi warga pribumi Banten untuk naik haji.

Diceritakan secara detail oleh seorang ambtenaar bernama Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (seorang bangsawan Banten pertama yang mengenyam pendidikan Barat) dalam memoarnya yang berjudul Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1996) terbitan Penerbit Dian Rakyat, warga muslim Banten di paruh kedua tahun 1800-an masih dikungkung oleh aturan Gubernemen. Syarat-syarat naik haji dari Gubernemen dirasa amat memberatkan warga dan mengabaikan prinsip keadilan, tulis Aria.

Lebih lanjut Aria menjelaskan bahwa salah satu aturan yang menurutnya memberatkan warga muslim yang ingin naik haji ialah Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1859 nomor 42. Dalam pasal 1, dinyatakan bahwa siapa saja warga pribumi yang hendak naik haji ke Mekah wajib meminta pas atau surat izin resmi pada Bestuur (pejabat setempat) di kawasan tempat tinggalnya.

Tak cuma itu, di pasal 2 dijelaskan bahwa warga harus juga menemui bupati di wilayahnya untuk memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa warga yang bersangkutan memiliki uang yang cukup untuk bisa pergi dan pulang serta membiayai keluarga yang ditinggalkan di tanah air selama berhaji.

Kemudian juga di pasal 5, dinyatakan bahwa warga muslim setelah berhaji harus kembali melaporkan diri ke bupati di wilayahnya untuk diwawancarai soal ibadah haji yang ia jalankan. Untuk memastikan ia benar-benar ke Mekah dan menunaikan haji, keterangan warga itu akan diverifikasi oleh ulama setempat yang mendampingi si bupati. Jika semua pertanyaan itu bisa dijawab dengan baik dan meyakinkan, barulah si warga tadi berhak mendapatkan surat keterangan/ sertifikat dengan tandatangan bupati dan ulama yang mewawancarainya.

Bagaimana jika warga tak bisa menjawab pertanyaan selama wawancara atau terbukti tidak mengunjungi Mekah untuk beribadah haji? Sanksinya adalah mereka tidak akan diberi sertifikat tersebut dan tak berhak memakai pakaian haji plus wajib membayar denda sebesar f25-f100 (f: guilder/ gulden belanda, mata uang Belanda saat itu).

Tantangan Berlipat Ganda

Namun, Aria sendiri menyaksikan bahwa banyak rakyat kecil Banten yang berhaji ini tak mengenyam pendidikan sehingga dapat dipastikan kemampuan mereka untuk bercerita dan menjawab pertanyaan sedetail tadi akan memberatkan.

Aria sendiri menyaksikan ada seorang penjual kayu bakar yang menabung sekelip (5 sen) dan seketip (10 sen) selama 25 tahun. Ia sisihkan uang tadi dari hasil penjualan kayu bakarnya lalu memendamnya di tanah di beberapa lokasi, sehingga saat ia menemui Aria untuk daftar haji dengan menunjukkan kepemilikan f500, ia harus menggali semua uang tabungannya dari tanah dan menukarnya ke uang kertas. Di sini kita bisa katakan rakyat kecil Banten yang jauh dari kondisi kaya raya pun menunjukkan kegigihan yang luar biasa dalam menabung biaya haji.

Membahas soal kewajiban menghadiri dan menjawab pertanyaan ulama setelah pulang haji, Aria kemudian membandingkan kemampuan bercerita seorang pejabat Jawa yang berkelana ke Eropa dan saat kembali ke Jawa cuma bisa mengingat cantiknya perempuan-perempuan Eropa, kelezatan roti khas Eropa, dan hawanya yang lebih dingin.

“Dapatkah kita mengharap dari seorang penjual kayu bakar, bahwa ia akan mengingat keadaan di Mekah dan Medina, dan dapat pula membuat riwayat tentang apa yang dilihatnya?” kritik Aria di halaman 216.

Kerisauannya patut dimengerti karena banyak warga muslim Banten yang tak mengenyam bangku sekolah sehingga buta huruf dan tak bisa menulis saat itu sehingga kecil kemungkinan mereka bisa mengingat dan bercerita serta menghapal banyak detail penting perjalanan haji.

Namun hebatnya, meski syarat-syaratnya memberatkan, warga muslim Banten tetap antusias ingin naik haji. Tulisnya lagi dengan gamblang:

“Ternyata betapa besar arti naik haji ditinjau dari segi keagamaan. Maka dapat dimengerti bahwa orang-orang muslim Banten sebanyak dan secepat mungkin menunaikan kewajiban tersebut.”

(Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat: 1996, 213)

Jadi bersyukurlah jika Anda berencana naik haji di masa sekarang ini sebab kakek nenek atau buyut Anda dulu harus bersusah payah sedemikian rupa untuk bisa menunaikan haji dan bisa diakui sah untuk menyandang gelar haji atau hajjah. (*/)

One thought on “Mengenang Rumit dan Susahnya Warga Banten Naik Haji di Masa Kolonial Belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *