MAY DAY: KESEJAHTERAAN BURUH DAN WARGA LEBAK DULU DAN KINI

sampul novel max havelaar
Sampul novel “Max Havelaar”. (Foto: Google Books)

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Nama kabupaten Lebak di Provinsi Banten mungkin tidak seterkenal Jakarta yang dulu dikenal sebagai Batavia. Namun, jika kita runut jauh ke belakang hingga abad ke-19, nama Lebak sempat diperbincangkan masyarakat Belanda di Eropa berkat diterbitkannya sebuah novel.

Dengan mengambil latar di Lebak, novel berjudul “Max Havelaar” karya Eduard Douwes Dekker (1820-1887) mengangkat kekejaman dan eksploitasi sistem kolonial Belanda terhadap rakyat Lebak pada abad ke-19, khususnya melalui sistem tanam paksa yang mempekerjakan mereka dalam kondisi buruk dan merampas hasil jerih payah mereka.

Dengan nama samaran Multatuli telah berusia lebih dari 160 tahun, Dekker mengangkat isu sosial ini untuk masyarakat Eropa. Novelnya mendapatkan sambutan yang luar biasa dan memicu perdebatan hebat di tengah masyarakat.

Meskipun masalah perburuhan yang diangkat oleh Dekker sudah lebih dari seabad lalu, isu buruh itu ternyata masih sangat relevan hingga hari ini.

Patung Multatuli di Amsterdam.
Patung Multatuli di Amsterdam. (Foto: Wikimedia)

Masih Relevan

Tokoh utama Max Havelaar dengan berani mengangkat tabir pada ketidakadilan tersembunyi di balik praktik-praktik kolonial. Ia menyaksikan sendiri bagaimana petani kecil di Lebak dipaksa bekerja dalam waktu yang sangat panjang, menerima bayaran rendah yang tidak sepadan, serta terpaksa menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada penguasa Belanda. Kehidupan buruh di ladang-ladang terkuras habis untuk memenuhi tuntutan eksploitatif kolonialisme.

Meski latar cerita berlangsung di era penjajahan, esensi pergulatan buruh di dalamnya masih terasa dekat dengan realita hari ini. Masih banyak pekerja di berbagai belahan dunia yang mengalami situasi serupa – dipekerjakan dalam kondisi tidak manusiawi, jam kerja panjang tanpa kompensasi yang layak, tereksploitasi demi memberi keuntungan besar bagi pihak-pihak berkuasa. Perbudakan modern, pekerja anak, pelanggaran hak-hak buruh, serta upah rendah di bawah standar hidup layak masih menjadi isu krusial di abad ke-21.

Kemajuan zaman memang telah membawa regulasi dan kesadaran yang lebih baik tentang hak-hak buruh. Namun eksploitasi tenaga kerja demi keuntungan bisnis terus berlanjut, kali ini oleh para pemilik modal swasta di berbagai industri. Perusahaan-perusahaan raksasa kerap mencari cara untuk memaksimalkan laba dengan mengorbankan kesejahteraan buruhnya. Kasus pelanggaran upah minimum, jam kerja berlebih, serta minimnya standar kesehatan dan keselamatan kerja masih kerap terjadi.

Logo organisasi nirlaba Fairtrade Max Havelaar. (Foto: wikipedia)

Dorong Fairtrade

Dilansir dari everything.explained.today, Fairtrade Nederland, dahulu dikenal sebagai Max Havelaar Stichting (sebuah organisasi nirlaba yang terilhami novel “Max Havelaar”), adalah anggota Fairtrade International dari Belanda.

Fairtrade International adalah organisasi yang mempersatukan 23 inisiatif sertifikasi dan pelabelan Fairtrade di seluruh Eropa, Asia, Amerika Latin, Amerika Utara, Afrika, Australia, dan Selandia Baru.

Label Fairtrade, label sertifikasi Fairtrade pertama di dunia, secara resmi diluncurkan oleh Stichting Max Havelaar pada 15 November 1988 atas upaya Nico Roozen, Frans van der Hoff, dan lembaga pembangunan Belanda Solidaridad.

Label ini digunakan untuk membedakan produk-produk Fairtrade dari produk konvensional, dengan tujuan memperbaiki kondisi hidup dan kerja para petani gurem (kecil) dan pekerja pertanian di wilayah kurang beruntung.

Kopi Fairtrade pertama berasal dari koperasi UCIRI di Meksiko dan diimpor oleh perusahaan Belanda Van Weely, dipanggang oleh Neuteboom, sebelum dijual langsung ke toko-toko dunia dan untuk pertama kalinya ke peritel utama di seluruh Belanda.

Produk-produk Fairtrade sekarang telah tersedia di banyak toko di seluruh Eropa. Produk Fairtrade juga tersedia di supermarket Albert Heijn di seluruh Belanda dan online di MUD Jeans, merek jins Fairtrade bersertifikat asal Belanda.

Dulu Belanda, Sekarang Ciptakerja

Dilansir dari Tirto.id, aktivis buruh mengkritik beberapa masalah dalam UU Cipta Kerja yang berdampak buruk bagi kesejahteraan kaum buruh. Salah satunya adalah sistem pengupahan yang dinilai belum mencerminkan upah layak.

Sejak 2021, pemerintah menghapus variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan penetapan upah minimum. Ini dianggap menggeser konsep perlindungan pengupahan yang luas dan membuat kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.

Pemerintah saat ini menggunakan tiga variabel (pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu) dalam menetapkan upah berdasarkan PP 36/2021 yang direvisi menjadi PP 51/2023. Ini dinilai mengurangi nilai angka upah buruh. Upah sektoral juga sudah tidak diberlakukan lagi sejak 2021.

Aktivis juga menyayangkan dihapusnya hak berunding untuk menetapkan upah minimum dalam UU Cipta Kerja, sehingga fungsi dewan pengupahan cenderung ditiadakan.

Dalam aksi May Day 2024, tuntutan utama buruh adalah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan menghapus outsourcing serta menolak upah murah. Alasannya, aturan tersebut dinilai mengembalikan konsep ke upah murah.

Masih banyak sekali permasalahan perburuhan yang kita hadapi saat ini di Indonesia termasuk di Lebak.

Masyarakat Maja di Lebak di depan Pasar Maja yang telah dimodernisasi tahun lalu. (Foto: Google Maps)

Kondisi Masyarakat Lebak Sekarang

Lalu bagaimana kondisi masyarakat Lebak setelah 160 tahun berlalu? Apakah telah ada perubahan signifikan dalam kesejahteraannya? Mari kita cermati data BPS terbaru.

Menurut data BPS mengenai Lebak di 2024, persentase warga yang berstatus sebagai buruh/ pekerja/ pegawai di Lebak adalah sebanyak 22,64%. Kemudian persentase warga dengan status pekerja bebas adalah sebesar 19,73%.

Dari tabel di bawah ini, kita bisa ketahui bahwa persentase penduduk Lebak yang bekerja sebagai buruh relatif dominan.

Jika ditilik dari Indeks Pembangunan Manusia, kualitas SDM Lebak adalah yang terendah dibandingkan semua kabupaten dan kota di Provinsi Banten.

Kesejahteraan penduduk Lebak juga ternyata masih dari kata layak menurut data BPS. Anda bisa lihat bahwa jumlah penduduk miskin di Lebak di tahun 2023 lalu masih belum pulih sebagaimana jumlah sebelum pandemi Covid-19.

Semua data ini menunjukkan masih panjangnya perjalanan pemerintah dan masyarakat Lebak menuju kehidupan yang lebih layak dan baik.

Tampaknya semangat Max Havelaar dalam membebaskan rakyat Lebak dari ketidakadilan dan kemiskinan struktural masih sangat relevan hingga detik ini. (*/)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *