BENARKAH INI PENYEBAB CITRA MAJA RAYA MASIH SEPI HINGGA KINI?

MAJA, SEKITARMAJA.COM – Baru-baru ini beredar video TikTok viral yang menunjukkan opini Helmy Yahya tentang alasan utama mengapa anak-anak muda Gen Z saat ini kurang berminat untuk membeli rumah.

Cuplikan paparan Helmy tersebut kemudian disebarkan di Twitter/ X dan juga ramai direspon anak-anak muda yang seakan mengamini sulitnya memiliki rumah zaman sekarang dan membuat mereka untuk menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak memiliki rumah dan memilih untuk menyewa saja atau berinvestasi dalam instrumen lainnya yang jauh lebih menjanjikan dan likuid (mudah diperjualbelikan).

Beli Versus Sewa Rumah

Singkatnya, Helmy menjelaskan panjang lebar mengapa ia bisa memahami pilihan anak-anak muda untuk menunda atau tidak ingin memiliki rumah sendiri. Ia mengatakan secara keseluruhan harga beli rumah saat ini sudah jauh di atas daya beli dan penghasilan Gen Z.

Belum lagi harus dipikirkan soal biaya lain-lain seperti bunga bank jika memutuskan mencicil dalam skema KPR, pajak bumi dan bangunan yang makin mahal apalagi jika lokasinya strategis, belum lagi biaya renovasi jika rusak atau ongkos perawatan rumah.

Helmy menambahkan Gen Z tampaknya lebih realistis dan mau berkompromi dengan kenyataan bahwa harga properti makin ‘nggak ngotak’ alias di luar nalar dengan memilih mengalokasikan dana untuk hal-hal lain yang lebih mereka bisa nikmati dan menguntungkan seperti investasi saham, jalan-jalan, dan sebagainya.

Helmy juga berargumen bahwa saat kita membeli rumah sebagai alat investasi, kita juga harus sanggup menerima kenyataan bahwa uang kita akan relatif ‘mati’ alias tidak mudah dipindahkan ke bentuk tunai jika suatu waktu butuh. Harus diakui menjual rumah tak semudah menjual kacang goreng. Begitu banyak faktor yang mesti dipertimbangkan sebab keputusannya melibatkan kepentingan banyak manusia.

“Saya punya beberapa properti. Udah lima tahun gitu, diobral-obral, nggak laku. Ini jeleknya properti. Properti itu tidak likuid (red- mudah diperjualbelikan dan ditukar dengan tunai),” tuturnya.

Pendapat Helmy Yahya tersebut memantik perdebatan yang hangat kembali di banyak kalangan. Tak cuma Gen Z.

Timbullah dua kubu yang merespon soal ini: mereka yang memilih membeli rumah dengan cara apapun (tunai atau KPR) VS mereka yang memilih tidak membeli rumah.

Solusi dan Konsekuensinya

Dalam utas X di bawah ini, Anda bisa membaca sejumlah komentar yang menarik perhatian. Misalnya ada pendapat bahwa harga rumah saat ini di luar daya beli banyak orang karena terlalu banyak pihak yang terlibat di dalamnya, yakni kontraktor, bank, dan pengembang perumahan.

Solusinya agar lebih murah, kata pemilik akun @dzienuen adalah dengan menghilangkan salah satu pihak yang terlibat dalam proses pembelian rumah.

Caranya bisa dengan membangun rumah sendiri dengan pinjaman bank (dengan demikian kita tidak harus membayar jasa kontraktor dan pengembang perumahan) meski risikonya adalah rumah kita nantinya tidak termasuk dalam wilayah kota yang terencana di masa depan sehingga harganya juga pasti berbeda dari harga rumah buatan kontraktor dan developer.

Atau bisa juga membeli rumah dari kontraktor dan developer secara tunai (kas keras) sehingga kita tidak tercekik bunga KPR bank dan biaya administrasi selama puluhan tahun yang bisa setara dengan harga rumah itu sendiri.

Bahaya Oversimplifikasi dan Overgeneralisasi

Salah satu kreator TikTok dengan fokus perencanaan keuangan yang bernama Albertus Axel (@axelalbertus) pun angkat bicara di akunnya baru-baru ini perihal komentar Helmy Yahya tersebut.

Albertus mengatakan di video di bawah ini bahwa dirinya sepakat dengan pendapat Helmy. Ia pun memberikan sebuah skenario pembelian sebuah rumah dengan harga Rp2 miliar dengan tenor 20 tahun dan DP 10%.

Video Albertus ini pun memicu banyak komentar warganet. Masing-masing memiliki pengalamannya sendiri yang khas dan tidak bisa digeneralisasi.

Memang harus kita akui bahwa untuk memutuskan beli atau sewa rumah tidak bisa dengan cara berpikir yang terlalu menyederhanakan (oversimplifikasi) dan terlalu menyamaratakan (overgeneralisasi).

Maksud “terlalu menyederhanakan” adalah mengabaikan faktor-faktor lain yang seolah tidak ada atau dianggap tidak penting bagi satu orang tapi penting bagi yang lain. Misal ada tidaknya dana segar, atau faktor emosional seperti apakah anak atau orang tua atau pasangan bersedia untuk tinggal di rumah di lokasi tertentu.

Overgeneralisasi juga membuat kita berpikir seolah-olah kehidupan dan kondisi orang lain sama persis dengan kondisi dan hidup kita. Menyamaratakan kondisi keuangan dan kehidupan manusia yang tentu sangat bervariasi di luar sana dengan kondisi keuangan dan kehidupan satu manusia sangatlah mustahil. Tentu ini akan berujung pada debat kusir, yang memang selalu terjadi dalam perdebatan beli versus sewa rumah.

@axelalbertus

Kenapa anak muda jaman sekarang ga mau beli rumah? Nih gua coba itungin simulasi nya.

♬ original sound – Albertus Axel – Albertus Axel

Tren Sewa Rumah Gen Z Bikin Maja Sepi?

Kembali ke Citra Maja Raya sebagai kota mandiri masa depan. Harus diakui bahwa perkembangan Citra Maja Raya dan sekitarnya sejak pendiriannya di tahun 2014 masih terbilang relatif membutuhkan banyak stimulus dan insentif dari pihak-pihak terkait untuk memacu perkembangan yang lebih pesat.

Dilansir dari artikel “Jadi Kota Baru, Penduduk Maja di Lebak Tak Bertambah Signifikan” yang ditayangkan di laman IDN Times, perpindahan penduduk baru dari luar Maja ke wilayah Maja terutama di wilayah perumahan baru masih tergolong rendah. Cuma tercatat mutasi data kependudukan sebanyak 976 jiwa sejak April 2022 hingga Juni 2023.

Terkait kaitan antara adanya tren sewa rumah Gen Z yang muncul baru-baru ini, bisa dikatakan tidak semua gen Z memiliki preferensi atau mindset yang sama soal rumah.

Tak sedikit juga yang masih berpikir konvensional dan memilih untuk membeli rumah entah bagaimana caranya karena setidaknya mereka merasa lebih tenteram jika ada sebuah tempat bernaung yang menjadi hak milih yang sah.

Memang harus diakui bahwa tak memiliki rumah dan terus berpindah-pindah kontrakan juga akan membuat kita kesulitan untuk dikunjungi apalagi jika sudah memiliki banyak anggota keluarga dengan barang yang tak sedikit.

Proses perpindahan tempat tinggal dari rumah kontrakan lama ke yang baru juga tidak bisa dikatakan sederhana.

Dan bisa jadi kepindahan tempat tinggal karena keterpaksaan akibat naiknya harga sewa secara sepihak oleh pemilik.

Sebagai penyewa, tentu Anda tidak bisa apa-apa kecuali menelan kenaikan harga sewa itu begitu saja atau pindah lagi ke rumah lain yang lebih murah.

Dan proses pencarian rumah yang cocok dengan selera dan kebutuhan diri dan keluarga juga sangat kompleks. Tidak bisa sehari atau dua hari langsung menemukan dan bisa pindah. Ini sangat menghabiskan energi pula sebenarnya jika kita mau berpikir kembali.

Simpulannya pada akhirnya adalah semua berpulang ke masing-masing individu. Mau menyewa atau membeli rumah, silakan saja. Tidak ada yang salah karena setiap orang atau keluarga memiliki situasi spesifik masing-masing.

Dan apakah benar tren ini berpengaruh pada sepi tidaknya Maja sebagai kawasan kota mandiri, masih perlu dilakukan penelitian atau studi lebih lanjut. Karena bisa jadi kondisi Citra Maja Raya yang relatif masih sepi ini dipicu oleh sejumlah faktor selain tren sewa rumah ini.

Faktor-faktor ini misalnya kondisi ekonomi global yang masih resesi, kemudian ditambah munculnya konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina-Iran yang makin kompleks, tech winter, gelombang PHK di tanah air beberapa tahun terakhir, dan juga pelemahan mata uang rupiah hingga melebihi Rp16 ribu. (*/)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *